Kitab kuning adalah istilah yang sangat khas di dunia pondok pesantren. Dalam UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren telah dipaparkan bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi tradisi keilmuan Islam dan menjadi rujukan pesantren.
Kitab kuning eksistensi kitab ksudah ada sejak kurang lebih abad ke 1-2 Hijriyah yang kemudian berkembang hingga saat ini. Tradisi literasi keislaman ini mampu tetap bertahan karena khazanah keilmuannya yang sangat luas.
Selama ini kitab kuning berkaitan erat dengan pendidikan pesantren karena pesantren merupakan pendidikan keislaman yang dimana sumber otoritatif dan rujukan yang dipakai adalah Al-Qur’an dan Al Hadits sedangkan hasil ijtihad para ulama salaf dalam berbagai bidang ilmu dituangkan dalam kitab kuning ini yang memang rumusan dan bahasan yang ada didalamnya sangat relevan sebagai sumber dan rujukan pesantren.
Macam-Macam Kitab Kuning
Bidang keilmuan yang ada dalam kitab kuning ini
juga sangat beragam seperti nahwu, shorof, tafsir, hadis, fikih, sejarah, balaghoh
dan masih banyak lagi. Bahkan dalam satu bidang ilmu saja terdapat banyak
sekali kitabnya salah satu contoh dalam bidang fiqih, sangat luas bahkan sampai
fiqih perbandingan madzhab. Selain itu, ada juga macam kitab kuning yang
menggunakan model syarakh (penjelasan) sebagai teknik penulisannya.
Nah guna memahami berbagai bidang ilmu-ilmu yang
ada didalam kitab kuning tersebut, dibutuhkanlah sebuah alat. maka mayoritas pesantren
mengajarkan kitab nahwu dan shorof yang berisi gramatika dan sintaksis bahasa
Arab. Selain itu untuk memahami bahasa Al-Qur’an masih dibutuhkan ilmu sastra
Arab (balaghah) dan logika (mantiq). Ilmu logika ini sangat penting untuk
memahami bagaimana sebuah kalimat itu memiliki makna, lalu bagaimana teknik
mengambil kesimpulan dari suatu masalah.
Dalam UU pesantren memang disebut bahwa kitab kuning pada umumnya adalah berbahasa arab, akan tetapi ada juga kitab kuning yang berbahasa selain arab misalnya saja (pegon) yang bertuliskan arab tetapi dengan menggunakan bahasa jawa.
Mengapa disebut Kitab Kuning?
Sebutan kitab “kuning” pada awalnya memang karena pada zaman dahulu kitab itu banyak dicetak di atas kertas yang berwarna kuning dan berbentuk khurosan. Dalam 1 khurosan terdapat beberapa halaman dengan seukuran kertas folio. Adapun dizaman modern seperti sekarang ini, penyebutan kitab kuning juga dapat merujuk pada kitab yang menggunakan kertas putih.
Sehingga, walaupun kitab kuning sudah dicetak dengan kertas putih karena perkembangan zaman, akan tetapi itu tidak menghilangkan makna substansinya. Jadi, nama kitab kuning itu lebih mengacu pada istilahnya saja, karena meski sudah berbeda isinya tapi tidak menghilangkan makna substansinya.
Keunikan Kitab Kuning
Setidaknya ada tiga hal yang mendasari tradisi keilmuan pesantren dengan kitab kuning ini bisa dikatakan unik.
Pertama, pembelajaran tradisi kitab kuning dilakukan dengan berurutan, berjenjang, dan sampai tuntas. Para santri dipondok pesantren akan diajarkan salah satu kitab dan setelah khatam barulah beranjak pada kitab yang lain yang tingkat keilmuannya lebih tinggi. Sehingga kitab kuning bisa dikatakan sebagai tangga para santri dimana jika akan naik ke jenjang yang lebih tinggi maka harus menyelesaikan tangga pertama dan seterusnya.
Jenjang yang ada dalam kitab kuning tersebut tidak hanya pada satu kitab atau satu bidang ilmu, akan tetapi jenjang tersebut berlaku pada semua bidang kitab dan ilmu misalnya kitab nahwu, maka yang pertama dipelajari adalah kitab Jurumiyah kemudian naik level pada kitab Al Imriti dilanjutkan dengan kitab Alfiyah. Sedangkan contoh di bidang ilmu fiqih yaitu pertama kitab safinah kemudian kitab Taqrib dilanjutkan kitab Fatchul Mu’in kemudian kitab Fatchul Wahab dan seterusnya.
Kedua, keilmuan yang ada dalam kitab kuning ini memiliki sanad mata rantai keilmuan yang jelas dan terjamin, diamana mata rantai tersebut bersambung hingga pada Nabi Muhammad SAW. bahkan klasifikasi dan afiliasi juga sangat jelas, sebagai contoh misalnya ada seorang santri belajar kitab Safinatun Naja, maka itu termasuk dalam kategori kitab Syafi’iyyah (mazhab Imam Syafi’i).
Dengan mengetahui judul kitabnya saja kita bisa mengindentifikasi suatu kitab dari segi genealogi keilmuannya, sehingga bisa ditelusuri jalur sanad penulis kitab tersebut berguru kepada siapa saja, lalu apakah keilmuannya bersambung sampai ke Rasulullah ataukah tidak.
Ketiga, dalam pembelajaran kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren juga sudah mengakomodasi berbagai macam pola pembelajaran yang terlembagakan. Karena dalam praktiknya pembelajaran kitab kuning itu sudah memiliki berbagai metode dalam pengkajiannya, misalnya seperti bandongan, sorogan, sima’an, bahkan sampai ada metode bahtsul masail dimana suatu permasalahan dapat di cari sebuah solusi dengan mengambil ta’bir-ta’bir (referensi) dari berbagai kitab yang kemudian dirumuskanlah solusi bagi permasalahan tersebut.
Dalam Pola pembelajaran pesantren seperti ini, membuktikan
adanya variasi dan inovasi pembelajaran yang mana anatara satu dengan yang lain
sama-sama saling mendukung. Maka tidak heran jika tradisi kitab kuning yang ada
di pesantren ketika dipelajari dengan sungguh-sungguh maka akan menghasilkan
satu capaian keilmuan yang tuntas komprehensif, luas, dan mendalam.
Demikian pembahasan mengenai kitab kuning dan tradisi keilmuan pesangtren semoga bermanfaat.
0 Komentar