Ketika Pesantren Diframing Feodalisme: Membongkar Narasi Miring di Balik Tayangan Trans7

 
Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Halo, Sobat Santri. Kembali lagi di Santri Gaptek: Media Online Kang Santri, Ngaji di Dunia Nyata, berpikir di dunia maya. Tempat kita menimbang kabar dengan akal sehat, bukan dengan asumsi liar. Karena kalau akal ditinggal, yang tersisa cuma gosip berbungkus data.

Beberapa hari terakhir, jagat maya heboh bukan karena konser, bukan juga drama selebritas, tapi karena satu tayangan di televisi nasional — program Xpose Trans7, 13 Oktober 2025. Tayangan itu mencoba “membedah” pesantren dengan gaya jurnalisme modern, tapi entah kenapa rasanya lebih mirip operasi tanpa bius. Alih-alih netral, narasinya justru destruktif, seperti sengaja disusun untuk memancing reaksi publik.

Santri disorot dari kamera rendah: jongkok, nyapu, ngepel, bahkan ngelap daun. Bagi mereka yang tak pernah mondok, mungkin itu tampak seperti pemandangan feodal. Tapi bagi santri, itu bukan penindasan, itu pengabdian. Masalahnya bukan pada videonya, tapi pada cara bercerita yang menyesatkan. Potongan realitas dijahit dengan narasi miring — hasilnya bukan pencerahan, tapi kebingungan massal.

Mari menalar sebentar. Dalam Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali, dikutip dari Syekh Khalil bin Ahmad, manusia dibagi menjadi empat:

قَالَ الْخَلِيْلُ بن أَحْمَدُ : الرِّجَالُ أَرْبَعَةٌ، رَجُلٌ يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَذٰلِكَ عَالِمٌ فَاتَّبِعُوْهُ، وَرَجُلٌ يَدْرِيْ وَلاَ يَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَذٰلِكَ نَائِمٌ فَأَيْقِظُوْهُ، وَرَجُلٌ لَا يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ لَا يَدْرِيْ فَذٰلِكَ مُسْتَرْشِدٌ فَأَرْشِدُوْهُ، وَرَجُلٌ لَا يَدْرِيْ أَنَّهُ لَا يَدْرِيْ فَذٰلِكَ جَاهِلٌ فَارْفِضُوْهُ. (إحياء علوم الدين، ج: 1، ص: 80)

Artinya:
Hakikatnya manusia ada empat macam. Pertama, orang yang tahu dan sadar bahwa ia tahu itulah orang alim. maka ikutilah dia. Kedua, orang yang tahu tapi enggak sadar bahwa ia itu tahu seperti orang tidur, maka bangunkan dia. Ketiga, orang yang belum tahu tapi sadar bahwa dirinya belum tahu, maka bimbinglah dia dengan lembut. Dan keempat, orang yang enggak tahu tapi juga tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Inilah yang harus dijauhi.

Orang yang tahu dan sadar bahwa ia tahu — itulah orang alim, ikutilah dia.
Orang yang tahu tapi tak sadar bahwa ia tahu — itulah orang tidur, bangunkan dia.
Orang yang tidak tahu tapi sadar bahwa ia tidak tahu — bimbinglah dia.
Orang yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa ia tidak tahu — tinggalkan dia.

Nah, sebelum kita bereaksi terhadap tayangan semacam itu, coba cek posisi kita di mana. Apakah kita sedang menalar, mencari tahu, atau cuma scroll video, lihat thumbnail, lalu ikut berkomentar “feodal!” tanpa paham konteksnya? Kalau begitu, jelas: kita sedang di golongan keempat.

Tayangan Trans7 itu menyinggung kyai dengan narasi yang manis tapi getir. Katanya, kyai hidup dari amplop umat, memakai sarung mahal, mobil mewah, sementara santrinya bersih-bersih rumah. Padahal mereka lupa: kyai bukan pejabat yang punya APBN, bukan politisi yang mengatur bansos. Kekayaannya bukan hasil proyek, tapi berkah ilmu dan sedekah tulus dari umat.

Hadiah untuk kyai bukan bentuk perbudakan, tapi penghormatan. Imam As-Suyuthi dalam Bughyatul Mustarsyidin menjelaskan, sedekah kepada orang alim memiliki pahala tertinggi, mencapai 900.000 kali lipat. Lalu kenapa kalau biduan disawer disebut loyalitas, tapi kalau santri memberi kyai disebut feodalisme? Bedanya cuma satu: yang satu menghibur telinga, yang satunya menenangkan hati.

Tentang “jalan jongkok” dan “cium tangan” yang dijadikan bahan sensasi, itu pun miskin makna. Dalam adab Islam, membungkuk karena hormat kepada orang berilmu bukan penghinaan, tapi pengakuan. Di pesantren, menunduk adalah simbol rendah hati di hadapan ilmu. Tapi di layar televisi, semua disulap jadi satire. Segelas susu dibingkai jadi simbol perbudakan. Padahal kalau kamera dinaikkan sedikit saja — bukan hanya secara teknis, tapi juga secara nalar — kita akan melihat maknanya berbeda.

Lucunya, yang paling lantang menyebut “feodalisme pesantren” justru mereka yang tak pernah ngalap berkah, tak pernah mondok, dan paling jauh hubungannya dengan kyai cuma lewat kolom komentar. Padahal bagi santri, bersih-bersih rumah kyai itu latihan hati: menyapu sombong, mengepel ego, mencuci malas. Itu kerja batin, bukan kerja paksa.

Jadi, sebelum menilai jongkok sebagai simbol perendahan, pahami dulu konteksnya. Kadang, yang jongkok justru lebih tinggi derajatnya, karena ia sedang menundukkan diri di hadapan ilmu.

Pesantren bukan ruang feodalisme, tapi ruang pembentukan karakter. Di situ santri belajar menahan diri, menghormati ilmu, dan mengabdi tanpa pamrih. Kalau jurnalisme modern gagal menangkap kedalaman itu, maka tugas kita — para santri, alumni, dan pecinta ilmu — adalah meluruskan. Bukan dengan amarah, tapi dengan nalar. Bukan dengan caci maki, tapi dengan data dan adab.

Pesantren adalah benteng moral bangsa. Jangan biarkan citranya dirusak oleh framing yang dangkal. Hormat pada kyai bukan taklid buta, tapi bagian dari menjaga warisan ilmu. Karena dari kyai lahir santri, dari santri lahir masyarakat beradab.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam - Santri Gaptek

Posting Komentar

0 Komentar